Salah satu pohon yang ditebang dalam kawasan Hutan Lumajang |
Lumajang – Prinsip dasar perlindungan dan pengamanan kawasan hutan yang paling penting bagi semua penyebab kerusakan adalah pencegahan awal terjadinya atau perkembangan penyebab kerusakan akan lebih efektif dibanding dengan pengendalian setelah kerusakan terjadi.
Pencegahan awal diartikan sebagai pengambilan langkah yang jelas untuk menghambat perkembangan penyebab kerusakan kawasan hutan jangan sampai melampaui tingkat yang menimbulkan kerugian yang besar.
Dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan, biasa juga dikenal ada kegiatan Patroli dan Operasi. Kedua bentuk kegiatan ini terkadang sulit untuk dibedakan. Padahal, kegiatan patroli ini merupakan kegiatan yang sifatnya rutin dilakukan. Sedangkan kegiatan operasi tidak bersifat rutin, karena harus ada target operasi.
Patroli adalah kegiatan satuan tugas wilayah dan/atau satuan tugas Resort dan Polhut yang terus menerus dilaksanakan sepanjang tahun dengan tujuan, antara lain: mencegah timbulnya gangguan terhadap kawasan hutan dan hasil hutan, biota-biota dan penertiban peredaran flora fauna yang dilindungi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian kawasan hutan, membuat peta kerawanan hutan dan mengupayakan penyelesaian kasus kehutanan di tingkat lapangan.
Adapun sifat kegiatan patroli adalah: dilaksanakan secara terus menerus sesuai dengan, jadwal dan secara selektif, dibuat jurnal Kegiatan dan jurnal kejadian, kasus kecil diselesaikan secara tuntas, menonjolkan fungsi penyuluhan (preventif) dan melaporkan secara periodik kepada pimpinan.
Sangatlah jelas bahwa tujuan dari patroli adalah untuk menjaga kawasan hutan dari berbagai macam bentuk gangguan dan ancaman serta mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran dan tindak pidana kehutanan. Karena begitu pentingnya tujuan dan fungsi patroli, maka kegiatan tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh satuan tugas wilayah dan/atau satuan tugas Resort dan Polhut secara terus menerus, terukur dan terjadwal.
Mengabaikan fungsi dan tujuan patroli dengan tidak melaksanakannya sangat berpotensi terjadi gangguan terhadap kawasan hutan serta terjadinya berbagai bentuk pelanggaran dan tindak pidana kehutanan. Bahwa karena lalai patroli yang berakibat terjadinya perusakan hutan di kawasan hutan desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang nyata terjadi pada pertengahan bulan September 2021 yang lalu.
“Sangatlah disayangkan masih terjadi perusakan di hutan desa ini, karena desa ini telah dinyatakan sebagai salah satu desa terbaik dalam pengelolaan hutannya oleh pemerintah pusat, bahkan rencananya bapak Presiden Joko Widodo akan mengunjungi desa Burno untuk menyaksikan langsung keberhasilan pengelolaan hutan di desa ini untuk dijadikan contoh pengelolaan hutan di Indonesia”, ungkap seorang warga desa Burno yang tidak mau disebutkan namanya.
Fakta terjadinya perusakan hutan tersebut dibenarkan oleh Edi Santoso, ketua KTH LMDH Wono Lestari desa Burno, “benar, memang telah terjadi perusakan (penebangan ratusan batang tanaman/pohon damar muda) di beberapa tempat di dalam kawasan hutan negara pangkuan desa Burno pada sekitar pertengahan bulan September 2021 yang lalu”, ungkap Edi.
Lebih lanjut Ia mengatakan, “kami mendapatkan informasi tersebut dari masyarakat ketika kami sedang melaksanakan kegiatan check areal tumpangsari tanaman Kapulaga bersama pengurus KTH LMDH Wono Lestari dan Pendamping Perhutanan Sosial, pada saat itu pula kami memutuskan untuk melaksanakan patroli mandiri dengan tujuan memastikan kebenaran informasi dari masyarakat tersebut”.
Terkait dengan telah terjadinya perusakan hutan tersebut, jurnalis media ini berusaha mendapatkan keterangan dari Asisten Perhutani/KBKPH Senduro yang bertanggung jawab sebagai pejabat yang mendapatkan mandat tugas dan wewenang mengamankan hutan pada kawasan hutan negara di wilayah Senduro, namun ketika awak media ini datang ke kantornya, info dari stafnya bahwa yang bersangkutan sedang tidak ada ditempat, dan sampai berita ini diterbitkan, potretwarta.co.id, masih belum mendapat keterangan dari pejabat yang mendapatkan mandat tugas dan wewenang mengamankan hutan tersebut.
Mengetahui dan melihat langsung pohon muda tumbang bergeletakan, aktifis lingkungan hidup dan kehutanan - Deddy Hermansjah merasa geram, “Kejadian seperti ini dapat diminimalisir jika kewajiban patroli dilaksanakan dengan benar oleh aparat satuan tugas wilayah atau satuan tugas Resort dan Polhut yang diamanahi oleh negara. Jika urusan tebangan mereka (Perhutani, red) sangat bersemangat, segala daya upaya dilakukan bahkan sama sekali tidak mempertimbangkan dua kali surat resmi permintaan pembatalan tebangan dari KTH LMDH Wono Lestari. Nah, giliran kewajibannya menjaga dan mengamankan hutan mereka lalai”.
Disamping telah lalai dalam melaksanakan kewajiban patroli, Deddy juga menengarai ada yang salah dalam kelola komunikasi sosial oleh aparat Perhutani di desa pangkuan hutan ini, tentu hal ini merujuk pada fakta dilapangan, bahwa tanaman muda ini hanya dirusak/dirobohkan dan dibiarkan bergeletakan di lokasi, jadi niatnya bukan mencuri kayunya. “Pelaku seperti berusaha menyampaikan ‘pesan’ kepada aparat (Perhutani, khususnya), namun apapun motifnya, perusakan hutan tetaplah salah dan merupakan tindakan yang melanggar hukum”, kata Deddy.
Deddy juga menegaskan, bahwa sejak tahun 2017 yang lalu, KTH LMDH Wono Lestari desa Burno telah menerima Surat Keputusan Nomor: 5633/MENLHK-PSKL/PKPS-PSL.O/10/2017 dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sebagai bentuk kepercayaan negara untuk melaksanakan program Perhutanan Sosial dengan skema Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK), yang didalam implementasinya dibutuhkan konsistensi komitmen, pemahaman yang utuh dan ketauladanan dari aparat Perum Perhutani sebagai mitra KTH LMDH Wono Lestari yang diharapkan dapat menjadi jembatan serta mampu memberikan bentuk nyata dari kehadiran negara dalam melindungi segenap masyarakat dan juga memberi kesejahteraan bagi masyarkat desa hutan setempat.
“Hutan adalah inti ekosistem lingkungan hidup dan juga berfungsi sebagai penyangga kehidupan yang akan menghadirkan kesejahteraan rakyat, mari kita jaga kelestarian dan keberadaannya”, ungkapnya.
Terkait dengan terjadinya perusakan hutan yang disebabkan karena aparat lalai melaksanakan patroli tersebut, Deddy juga mengingatkan bahwa, selain di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, sejak 6 Agustus 2013 telah disahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Terkait dengan kelalaian pejabat jelas tertuang di dalam Pasal 28 huruf h dinyatakan bahwa “Setiap pejabat dilarang lalai dalam melaksanakan tugas”. Sebagai sanksi dari tindakan di atas, ditegaskan pada pasal 106 bahwa “Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
“Jika dicermati dengan seksama dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tersebut, yang dimaksud dengan pejabat dalam hal ini adalah sebagaimana dijelaskan pasal 1 angka 16, bahwa pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu”, ungkapnya.
Dipaparkan pula oleh Deddy, bahwa pembangunan kehutanan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat lokal, distribusi pemerataan hasil-hasil hutan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat menciptakan hal-hal sebagai berikut: Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah-tanah hutan yang rusak dan tanah kritis lainnya dalam rangka mengurangi proses deforestasi. Kedua, membangun sosial ekonomi masyarakat lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pengembangan lembaga dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, masyarakat lokal mempunyai akses yang lebih baik terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari dalam hutan. Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tujuan antara peningkatan kemandirian mereka.
Selain faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, faktor lain yang tidak kalah penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan kedepan adalah penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan yang mampu mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah tertentu, sehingga dapat diambil keputusan yang berdasarkan informasi keterbatasan daya dukung hutan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Praktek-praktek kearifan lokal tersebut merupakan bentuk penggelolaan sumberdaya hutan yang mampu menjawab persoalan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kita berharap agar pengelolaan hutan yang benar mampu mereduksi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau. “Pandanglah hutan dengan mata hati agar bisa kau baca kalam Illahi”, pungkasnya. (Heri)