Aktivitas pembangunan dinding batako yang dilakukan oleh pemilik kavling di atas ruang sempadan jaringan irigasi D.I. Klopo Gading di desa Grati Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang yang diduga melanggar aturan |
Lumajang - Keberadaan bangunan turap atau retaining wall dan lining jaringan irigasi D.I. Klopo Gading yang melintas di Desa Grati Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang yang dibangun pada tahun 2020 yang lalu, banyak diprediksi oleh masyarakat jika bangunan tersebut tidak akan bertahan lama. Pasalnya, kualitas bangunannya tidak bagus.
“Kualitas bangunannya memang kurang baik, padahal baru dibangun pada tahun 2020 yang lalu sekarang sudah ambrol. Mestinya pengawas proyeknya harus lebih ketat dan tegas dalam melaksanakan tugasnya”, kata Satuki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani yang sehari-harinya menggarap sawah di sekitar saluran irigasi tersebut.
Terkait keberadaan banguna turap tersebut, awak media ini meminta keterangan kepada Joko Heri Prasetyo salah satu pejabat pada bidang Sumber Daya Air di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Lumajang via whatsapp, Ia menyatakan bahwa turap dan lining saluran irigasi tersebut dibangun pada tahun 2020 yang lalu.
Jokopun menuding, bahwa ambrolnya turap itu dikarenakan adanya pemasangan batako yang menggunakan sempadan saluran irigasi tersebut oleh pemilik tanah kavling di sebelah saluran jaringan irigasi tersebut.
“Pada saluran yang ambrol tersebut disebabkan tidak mampu menahan beban pasangan batako yang di bangun oleh pihak yang mempunyai tanah kavling disebelahnya”, ungkapnya.
Joko juga menerangkan, bahwa bangunan pasangan batako tersebut jelas menggunakan sempadan sungai yang seharusnya berjarak paling sedikit 1 meter dari bangunan saluran irigasi tersebut.
Namun, ketika ditanya apakah pembangunan dinding batako yang dilakukan oleh pemilik kavling tersebut melanggar aturan dan apa sanksinya? Joko tidak memberikan jawaban.
Persoalan tersebut akhirnya mendapatkan perhatian dari Deddy Hermansjah aktivis lingkungan yang juga ketua LSM Raja Giri Lumajang.
Deddy mengatakan bahwa jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, bahwa tujuan dari pembangunan pengairan adalah segala usaha mengembangkan pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya dengan perencanaan dan perencanaan teknis yang teratur dan serasi guna mencapai manfaat sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan perikehidupan rakyat.
Pada kasus ini, terkait dengan pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi sebenarnya sudah jelas diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 08/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi.
Dalam hal ini, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam menetapkan garis sempadan jaringan irigasi yang telah terbangun, membentuk tim teknis yang terdiri atas wakil instansi terkait sesuai dengan kebutuhan.
Tertuang pula dalam Peraturan Menteri tersebut sebuah penegasan, bahwa dalam hal pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi harus memperoleh izin dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
“Seharusnya Pemerintah Kabupaten Lumajang bersikap tegas dalam melakukan penertiban berupa tindakan administrasi dan fisik untuk mengembalikan fungsi ruang sempadan jaringan irigasi jika terjadi penyimpangan/pelanggaran pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi”, ungkapnya kepada jurnalis Potret Media, Selasa (4/4/2023)
Deddy juga menambahkan, bahwa ketentuan dalam Peraturan Menteri PUPR tersebut terkait dengan tindakan penertiban ruang sempadan jaringan irigasi dilakukan dengan tahapan sosialisasi, peringatan, teguran, dan perintah bongkar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Iapun mempertanyakan, “Jika aturannya sudah ada, perangkat pemerintahannya juga lengkap, kenapa dibiarkan terjadi pelanggaran di depan mata seperti itu? Ada apa ini?”. (Her)
“Kualitas bangunannya memang kurang baik, padahal baru dibangun pada tahun 2020 yang lalu sekarang sudah ambrol. Mestinya pengawas proyeknya harus lebih ketat dan tegas dalam melaksanakan tugasnya”, kata Satuki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani yang sehari-harinya menggarap sawah di sekitar saluran irigasi tersebut.
Terkait keberadaan banguna turap tersebut, awak media ini meminta keterangan kepada Joko Heri Prasetyo salah satu pejabat pada bidang Sumber Daya Air di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Lumajang via whatsapp, Ia menyatakan bahwa turap dan lining saluran irigasi tersebut dibangun pada tahun 2020 yang lalu.
Jokopun menuding, bahwa ambrolnya turap itu dikarenakan adanya pemasangan batako yang menggunakan sempadan saluran irigasi tersebut oleh pemilik tanah kavling di sebelah saluran jaringan irigasi tersebut.
“Pada saluran yang ambrol tersebut disebabkan tidak mampu menahan beban pasangan batako yang di bangun oleh pihak yang mempunyai tanah kavling disebelahnya”, ungkapnya.
Joko juga menerangkan, bahwa bangunan pasangan batako tersebut jelas menggunakan sempadan sungai yang seharusnya berjarak paling sedikit 1 meter dari bangunan saluran irigasi tersebut.
Namun, ketika ditanya apakah pembangunan dinding batako yang dilakukan oleh pemilik kavling tersebut melanggar aturan dan apa sanksinya? Joko tidak memberikan jawaban.
Persoalan tersebut akhirnya mendapatkan perhatian dari Deddy Hermansjah aktivis lingkungan yang juga ketua LSM Raja Giri Lumajang.
Deddy mengatakan bahwa jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, bahwa tujuan dari pembangunan pengairan adalah segala usaha mengembangkan pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya dengan perencanaan dan perencanaan teknis yang teratur dan serasi guna mencapai manfaat sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan perikehidupan rakyat.
Pada kasus ini, terkait dengan pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi sebenarnya sudah jelas diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 08/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi.
Dalam hal ini, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam menetapkan garis sempadan jaringan irigasi yang telah terbangun, membentuk tim teknis yang terdiri atas wakil instansi terkait sesuai dengan kebutuhan.
Tertuang pula dalam Peraturan Menteri tersebut sebuah penegasan, bahwa dalam hal pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi harus memperoleh izin dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
“Seharusnya Pemerintah Kabupaten Lumajang bersikap tegas dalam melakukan penertiban berupa tindakan administrasi dan fisik untuk mengembalikan fungsi ruang sempadan jaringan irigasi jika terjadi penyimpangan/pelanggaran pemanfaatan ruang sempadan jaringan irigasi”, ungkapnya kepada jurnalis Potret Media, Selasa (4/4/2023)
Deddy juga menambahkan, bahwa ketentuan dalam Peraturan Menteri PUPR tersebut terkait dengan tindakan penertiban ruang sempadan jaringan irigasi dilakukan dengan tahapan sosialisasi, peringatan, teguran, dan perintah bongkar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Iapun mempertanyakan, “Jika aturannya sudah ada, perangkat pemerintahannya juga lengkap, kenapa dibiarkan terjadi pelanggaran di depan mata seperti itu? Ada apa ini?”. (Her)